RSS

"Burung di Ventilasi Kamarku" Part Two (The End)


Sudah tiga hari aku tinggal di kesusteran ini. Aku begitu bahagia disini. Kesehatanku berangsur-angsur membaik, bahkan hari ini aku sudah sehat betul. Seperti biasa, pagi ini aku memberi makan burung-burung kecil yang di pelihara oleh para suster. Aku suka melakukan tugas yang diberikan Suster Theodesya padaku. Aku teringat pada burung-burung kecil di fentilasi kamarku. Bagaimana kabar mereka sekarang? Apakah mereka masih sering singgah di kamarku yang gelap?

            “Aileen..” terdengar suara memanggilku dari belakang. Aku berbalik, suster Theodesya berdiri di belakangku dengan tersenyum.
            “Ya suster?”
            “Kamu tidak rindu rumah?” Aku terkejut. Rumah? Apakah tempat tinggalku dahulu dapat disebut rumah? Bagiku itu hanya sebuah neraka.
“Aileen?”
“Oh ya suster?”
“Mengapa melamun?”
“Tidak apa-apa suster. Saya hanya teringat rumah saya.” Aku menceritakan semuanya. Menceritakan pecahan piring dirumahku. Menceritakan ketika ayahku mulai berhenti bekerja pada sebuah percetakan karena tempatnya bekerja bangkrut, dan ia mulai mabuk-mabukkan. Ibuku yang prihatin hanya menasihatinya, namun ia malah memukul dan menyiksa Ibuku. Kehidupan keluarga kami morat-marit dan akhirnya Ibuku mengambil alih segalanya, ia bekerja apa saja mulai dari menjual asuransi sampai toko online, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hingga malam itu, ketika Pastor Niko menemukanku. Tak terasa air mataku jatuh, bayang-bayang tentang  hancurnya keluargaku terbesit dalam benakku.
Suster Theodesya membelai rambutku dan lagi-lagi tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang rapi dan bersih.
“Aileen, kamu harus pulang”
“Suster,...”
“Kamu harusnya menyelesaikan masalah, bukan menghindarinya seperti ini. Ibumu mebutuhkanmu. Bantu dia.” Aku terdiam. Ya, aku rindu pada Ibu. Rindu pada wajah lelahnya ketika setiap malam pulang bekerja.  Tapi aku tetap ingin disini.
“Tapi apa aku boleh kembali jika masalahku selesai?”
“Pintu disini akan terbuka lebar untukmu Aileen.”
*          *          *
Rumahku dikunci, tidak ada orang di dalam. Lampunya mati, sepertinya tidak ada orang di dalam. Aku memutuskan untuk kembali kekesusteran. Namun begitu aku keluar dari pekarangan rumahku, salah seorang tetangga menghampiriku.
“Aileen?”
“Mas Dito?”
“Kamu kemana saja? Orang tuamu mencarimu.”
“Mencariku?”
“Iya, begitu malam itu kamu tidak ada di rumah, ayahmu meminta bantuan orang-orang disini mencarimu. Namun karena hari sudah larut, orang-orang memutuskan untuk melanjutkan pencarian besok. Ayahmu tidak putus asa, ia mencari sendiri. Ia mencarimu semalaman. Besoknya ia demam tinggi, jadi Ibumu membawanya kerumah sakit. Sampai sekarang belum pulang.”
            “Jadi ayah dan Ibumu masih dirumah sakit?”
            “Iya,  Rumah Sakit  Santa Maria kamar nomor 145.”
*          *          *
            Aku menyusuri sepanjang koridor rumah sakit mencari tulisan “145” sesuai dengan petunjuk Mas Dito.  Aku membuka pintu yang kuyakini adalah kamar rawat  Ayahku. Tampak seorang wanita paruh baya duduk di samping tempat tidur. Ibuku.
            “Bu..”
            “Aileen?!!?” Ia berseru tak percaya, Kemudian beranjak dan memelukku.
            “Bagaimana kabar Ayah?”
            “Ayahmu sering menyebut namamu ketika tidur. Ia sangat rindu padamu. “
            “Aku merasa sangat bersalah pada Ayah bu..”
            “Ayahlah yang harusnya merasa bersalah padamu Aileen. Ayah gagal menjadi kepala rumah tangga yang baik.” Tiba-tiba suara berat Ayah nimbrung dalam percakapan kami.
            “Ayah...”
            “Ayah janji, Ayah tidak akan mengulang hal yang sama lagi. Ayah minta maaf padamu dan pada Ibumu atas apa yang telah Ayah lakukan selama ini..”
            “Ayah selalu menjadi Ayah yang terbaik bagi Aileen.” Ucapku seraya memeluk Ayah. Aku merasa bahagia. Aku berjanji tidak akan iri lagi pada burung-burung kecil itu. 

0 komentar:

Posting Komentar