Sudah tiga hari aku tinggal di kesusteran ini. Aku begitu
bahagia disini. Kesehatanku berangsur-angsur membaik, bahkan hari ini aku sudah
sehat betul. Seperti biasa, pagi ini aku memberi makan burung-burung kecil yang
di pelihara oleh para suster. Aku suka melakukan tugas yang diberikan Suster
Theodesya padaku. Aku teringat pada burung-burung kecil di fentilasi kamarku.
Bagaimana kabar mereka sekarang? Apakah mereka masih sering singgah di kamarku
yang gelap?
“Aileen..”
terdengar suara memanggilku dari belakang. Aku berbalik, suster Theodesya
berdiri di belakangku dengan tersenyum.
“Ya suster?”
“Kamu tidak
rindu rumah?” Aku terkejut. Rumah? Apakah tempat tinggalku dahulu dapat disebut
rumah? Bagiku itu hanya sebuah neraka.
“Aileen?”
“Oh ya suster?”
“Mengapa melamun?”
“Tidak apa-apa suster. Saya hanya
teringat rumah saya.” Aku menceritakan semuanya. Menceritakan pecahan piring
dirumahku. Menceritakan ketika ayahku mulai berhenti bekerja pada sebuah
percetakan karena tempatnya bekerja bangkrut, dan ia mulai mabuk-mabukkan.
Ibuku yang prihatin hanya menasihatinya, namun ia malah memukul dan menyiksa
Ibuku. Kehidupan keluarga kami morat-marit dan akhirnya Ibuku mengambil alih
segalanya, ia bekerja apa saja mulai dari menjual asuransi sampai toko online,
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hingga malam itu, ketika Pastor Niko
menemukanku. Tak terasa air mataku jatuh, bayang-bayang tentang hancurnya keluargaku terbesit dalam benakku.
Suster Theodesya membelai rambutku
dan lagi-lagi tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang rapi dan bersih.
“Aileen, kamu harus pulang”
“Suster,...”
“Kamu harusnya menyelesaikan masalah,
bukan menghindarinya seperti ini. Ibumu mebutuhkanmu. Bantu dia.” Aku terdiam.
Ya, aku rindu pada Ibu. Rindu pada wajah lelahnya ketika setiap malam pulang
bekerja. Tapi aku tetap ingin disini.
“Tapi apa aku boleh kembali jika
masalahku selesai?”
“Pintu disini akan terbuka lebar
untukmu Aileen.”
* * *
Rumahku dikunci, tidak ada orang di
dalam. Lampunya mati, sepertinya tidak ada orang di dalam. Aku memutuskan untuk
kembali kekesusteran. Namun begitu aku keluar dari pekarangan rumahku, salah
seorang tetangga menghampiriku.
“Aileen?”
“Mas Dito?”
“Kamu kemana saja? Orang tuamu
mencarimu.”
“Mencariku?”
“Iya, begitu malam itu kamu tidak ada
di rumah, ayahmu meminta bantuan orang-orang disini mencarimu. Namun karena
hari sudah larut, orang-orang memutuskan untuk melanjutkan pencarian besok.
Ayahmu tidak putus asa, ia mencari sendiri. Ia mencarimu semalaman. Besoknya ia
demam tinggi, jadi Ibumu membawanya kerumah sakit. Sampai sekarang belum
pulang.”
“Jadi ayah dan Ibumu masih dirumah
sakit?”
“Iya, Rumah Sakit
Santa Maria kamar nomor 145.”
* * *
Aku menyusuri sepanjang koridor
rumah sakit mencari tulisan “145” sesuai dengan petunjuk Mas Dito. Aku membuka pintu yang kuyakini adalah kamar
rawat Ayahku. Tampak seorang wanita
paruh baya duduk di samping tempat tidur. Ibuku.
“Bu..”
“Aileen?!!?” Ia berseru tak percaya,
Kemudian beranjak dan memelukku.
“Bagaimana kabar Ayah?”
“Ayahmu sering menyebut namamu
ketika tidur. Ia sangat rindu padamu. “
“Aku merasa sangat bersalah pada
Ayah bu..”
“Ayahlah yang harusnya merasa
bersalah padamu Aileen. Ayah gagal menjadi kepala rumah tangga yang baik.”
Tiba-tiba suara berat Ayah nimbrung dalam percakapan kami.
“Ayah...”
“Ayah janji, Ayah tidak akan
mengulang hal yang sama lagi. Ayah minta maaf padamu dan pada Ibumu atas apa
yang telah Ayah lakukan selama ini..”
“Ayah selalu menjadi Ayah yang
terbaik bagi Aileen.” Ucapku seraya memeluk Ayah. Aku merasa bahagia. Aku
berjanji tidak akan iri lagi pada burung-burung kecil itu.
0 komentar:
Posting Komentar