RSS

"Burung di Fentilasi Kamarku" Part One

Em.... Sebenarnya ini Part One dari "Burung di Fentilasi Kamarku" tapi, kemaren ga sengaja terhapus postingannya, jadi baru sempat post lagi sekarang. Oke, Cekidot!

Bulan Desember, adalah salah satu bulan penghujan yang kusukai. Aku suka hujan, suka ketika aroma tanah basah menusuk hidungku. Seperti malam ini. Aku meringkuk menahan dingin. Kutarik selimutku lebih tinggi, dan menatap sekeliling kamar. Untuk yang kesekian kalinya aku melihat burung-burung kecil itu merapat, mencoba menghangatkan diri satu sama lain di fentilasi kamarku. Mereka hampir setiap malam singgah pada tempat yang sama, entah karena apa. Namun yang jelas aku cukup terhibur dengan kehadiran mereka.

PRAAANNNGGG!!!
Aku menghela nafas. Satu lagi barang pecah belah yang menjadi korban. Rutinitas kedua orangtuaku yang tidak pernah akur. Aku pura-pura tidak mendengar, berbohong pada diriku sendiri. Kutatap burung-burung kecil itu. Mereka semakin merapat. Tanpa kusadari aku masuk dalam suasana hangat mereka dan mulai menguap. Kantukku mulai menyerang dan aku bermimpi indah tentang burung-burung kecil itu.
*          *          *
            Matahari pagi menerobos masuk melalui celah-celah jendela kamarku.  Suara ribut-ribut di dapur membuatku terbangun. Aku bangun dengan malas. Hari ini hari minggu. Kuseret badanku menuju meja makan. Dari meja makan kulihat sekilas pertengkaran kedua orangtuaku. Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Karena bosan, sehabis mandi dan sarapan aku berjalan-jalan di sekitar rumahku. Cukup lama mengitari kompleks, aku kelelahan dan duduk di salah satu kursi taman kompeks. Dulu, aku suka duduk disini saat masih kecil dulu bersama teman-teman seusiaku. Biasanya ada seorang bapak tua menjual makanan burung yang menawarkan dagangannya pada kami.  Dengan senang, kami membelinya dan memberi makan burung-burung yang ada di taman bersama-sama.
            Teng.. Teng.. Teng...
            Sebuah lonceng berdentang nyaring berirama yang membuatku nyaman mendengarnya. Orang-orang disekitarku mempercepat langkahnya menuju gedung yang membunyikan lonceng tadi. Aku mengingat sepuluh tahun lalu, saat aku masih kecil, dan yang kuingat saat itu aku tidak pernah mendengar suara piring pecah. Aku dan kedua orangtuaku masuk ke dalam  gedung itu setiap minggu pagi.
            Samar-samar kudengar suara orang banyak bernyanyi. Diluar kontrolku, kakiku melangkah menuju sumber suara, gedung besar itu. Seorang kakek mendekatiku. Cukup terkejut dengan kehadirannya, aku refkleks tersenyum. Ia balas tersenyum padaku dan memberi isyarat untuk duduk pada salah satu kursi di teras gedung ini.
            “ Mengapa tidak masuk? ”katanya lembut. Tutur katanya halus dan enak di dengar.
            “ A.. Aku...” Aku terdiam. Mengapa? Aku juga tidak tahu. Aku canggung sekali, sudah lama tidak menginjakkan kaki disini. Ia tersenyum lagi. Aku menunuduk.
            “ Didalam tidak menakutkan nak.”
            “ Tapi aku tidak pantas pastor. Aku tidak pernah ke Gereja sepuluh tahun terakhir. Aku bahkan tidak pernah berdoa lagi.”
            “ Masuklah, agar kamu dpat menjadi pantas dan rasakan kasih-Nya”
            “Apa itu KASIH pastor?”
            “ Masuklah nak, kamu akan tahu arti kasih di dalam”
*          *          *
            Suara itu lagi. Hujan lagi. Udara dingin lagi. Masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Hidupku memang membosankan, kecuali gerakan-gerakan burung-burung kecil di fentilasi kamarku. Mereka kembali lagi kesini untuk beristirahat, seakan tahu aku membutuhkan mereka untuk mengusir sepi. Mereka membuatku sedikit iri dengan kehangatan mereka. Malam semakin larut namun aku sangat sulit untuk memejamkan mata diakibatkan suara ribut-ribut dari lantai bawah. Kali ini terdengar lebih berisik dan tampaknya pertengkaran orangtuaku kali ini sangat hebat. Dengan malas kuseret tubuhku meninggalkan kasurku dan berjalan menuju sumber keributan.
            Dadaku terasa sesak melihatnya. Melihat wajah lebam ibuku. Ia benar-benar tak berdaya, pasrah dengan pululan bertubi-tubi dari tali pinggang ayahku. Ketika hendak memukul lagi, aku menahan tangan ayah dan mencampakkan tali pinggangnya. Aku refleks menampar wajah ayahku sendiri dan memaki-makinya. Suasana memanas dan akhirnya sebuah pukulan mendarat empuk di pipi kananku diiringi dengan jeritan ibuku. Aku marah. Bukan pada ayahku, tapi pada keadaan. Sesaat aku terdiam. Menatap mata ayahku, memberontak melaui tatapan mata yang berkaca-kaca. Kemudian aku berbalik, melihat ibu sekilas yang sedang terduduk lemah di lantai ruang tamu, dan berlari keluar rumah.
            Aku berlari sekencng-kencangnya.  Membiarkan tetesan air hujan membasahi tubuhku. Membiarkan ratusan air mataku jatuh. Membiarkan batu-batu kecil menusuk telapak kakiku yang telanjang. Aku berhenti sejenak. Berusaha menetralkan nafasku yang memburu. Aku mulai merasa kedinginan. Kepalaku pusing. Mataku mulai berkunang-kunang dan semuanya gelap.
*          *          *
            Sinar matahari pagi begitu menyilaukan membuatku terbangun. Badanku panas namun menggigil. Kutarik lebig tinggi lagi selimut yang sejak tadi menutupi badanku. Tunggu, selimut siapa ini? Dan, ada dimana aku? Kuusahakan badanku bangkit berdiri dan kepalaku terasa semakin berat. Ayolah, mengapa anggota tubuhku tidak mau diajak kompromi saat ini? Aku berdiri, memegangi benda apa saja yang dapat kugapai untuk menahan ku agar tetap berdiri. Tiba-tiba pintu terbuka.
            “Sudah bangun nak?” aku menatap perempuan tua itu sekilas, kemudian terjatuh. Ia segera membantuku berdiri dan membawaku kembali ke tempat tidur. Dengan gerakamatanya yang teduh ia menyuruhku tidur kembali dan menyelimutiku dengan lembut. Aku mengalami deja vu. Oh iya, aku ingat, sepuluh tahun lalu mungkin, ibu pernah menyelimutiku sebelum tidur dan menyanyikan aku lagu-lagu rohani.
            “Saya ada dimana?” Ucapku begitu dia hendak meninggalkan tempat tidur.
            “Tadi malam Pastor Niko menemukanmu di depan gereja. Kamu pingsan dan tidak ada identitas yang terdapat pada sakumu. Jadi kamu di bawa ke kesusteran ini.” Oh iya, aku semalaman hujan-hujanan. Aku merasa terharu. Orang-orang ini baik sekali padaku. Mereka mau menolongku meskipun tidak mengenalku.
            “Suster, kenapa anda mau menolong saya? Padahal kita tidak pernah saling mengenal. Bagaimana kalau saya seorang penjahat yang mau menipu suster?”
            “Itu namanya kasih nak. Kasih itu bukan soal mengenal atau tidak, bukan soal percaya atau tidak. Tapi dia hanya akan melihat siapa yang butuh pertolongan, siapa yang butuh kasih sayang”. Ia tersenyum, kemudian beranjak pergi. Aku merasa tidak rela melihatnya pergi, aku ingin ia terus berada di dekatku, yang membuatku nyaman.
            “Suster.. tunggu....”ucapku reflesks. Ia tersenyum lagi, kemudian berbalik kearahku.
            “Ada apa nak?”
            “Biasakah suster menyanyikan satu lagu untukku” Aku hanya mengatakan seadanya, sambil membayangkan wajah Ibuku dulu ketika menyanyi untukku. Ia mulai bernyanyi. Suaranya tidak begitu bagus, namun enak di dengar. Lambat laun mataku mulai tertutup, seiring dengan berakhirnya nyanyian suster itu.
*          *          *

Continue...

0 komentar:

Posting Komentar